Hubungan Musim Kawin dengan Musim Menanam

Pada pagi hari tadi, saya ngobrol dengan beberapa teman terkait dengan persiapan kegiatan yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 November 2011. Kegiatan yang memperingati hari penting bagi Bangsa Indonesia dalam upaya menciptakan lingkungan hijau. Sejak ditetapkan oleh Presiden SBY pada tahun 2008, setiap tanggal 28 November diperingati sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Presiden SBY juga menetapkan bahwa Bulan Desember merupakan Bulan Menanam Nasional.

Kegiatan hari menanam dan bulan menanam ini juga, merupakan salah satu rangkaian dari upaya mensukseskan program “penanaman satu milyar pohon”, yang merupakan program prioritas kehutanan, dalam upaya mengurangi laju degradasi dan deforestasi, agar hutan menjadi lestari.

Penetapan tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Indonesia, dan Bulan Desember sebagai bulan Menanam Nasional oleh Presiden SBY, salah satunya disebabkan karena pada bulan-bulan ini telah masuk musim hujan.

Ketika salah satu teman mengucapkan istilah “musim hujan”, saya jadi teringat dengan istilah “musim kawin”. Dari sisi ilmiah, setahu saya kedua variabel ini tidak memiliki hubungan satu sama lain. Namun secara pribadi, saya memiliki pengalaman terkait dengan istilah “musim” ini. Sehingga bagi saya, kedua istilah ini memiliki hubungan.

Bulan November sekarang ini, dimana peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dilaksanakan, bertepatan dengan Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji. Pada sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk di Kota Palu – Sulawesi Tengah, bulan ini identik dengan bulan pernikahan. Dalam bahasa pasaran, orang mengatakan “musim kawin”.

Bagi sebagian besar masyarakat – termasuk orang tua saya, menganggap bulan ini sebagai bulan yang istimewa untuk melaksanakan pernikahan atau perkawinan. Sehingga, pada beberapa tahun yang lalu, orang tua saya-pun mengatur pernikahan saya pada bulan ini juga. Walaupun secara pribadi, saya menganggap seluruh bulan adalah istimewa.

Musim kawin merupakan kebiasaan, atau bahkan dapat dikatakan merupakan budaya masyarakat kita, jadi pembahasan tentang ini mungkin bukan hal yang istimewa. Namun bagi saya, yang belakangan berturut-turut mendapatkan undangan untuk menghadiri acara pesta pernikahan, sempat bingung ketika harus menjelaskan tentang budaya musim kawin ini kepada anak saya, yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar.

Malam itu, ketika saya bersiap-siap pergi menghadiri pesta pernikahan, kebetulan tidak bersama isteri karena beliau harus menemani anaknya yang suhu badannya agak hangat. Melihat saya memakai baju batik, anak saya yang mengharapkan ditemani oleh saya juga, dengan nada sedikit protes ia bertanya “kenapa sekarang banyak pesta pah?”.

Dengan maksud menjelaskan kepada dia, saya menjawab “sekarang lagi musim kawin nak, makanya banyak undangan pesta”

Tidak disangka, anak saya bertanya balik “musim kawin itu apa pah?”

Belum sempat saya menjawab pertanyaannya, karena masih berpikir untuk menjelaskan dengan kata-kata yang lebih sederhana. Dia bertanya kembali “musim kawin itu, sama dengan musim kemarau dan musim hujan ya pah?”

Lantaran istilah “musim kawin” ini, saya terlambat tiba di tempat pesta pernikahan. Sebelum pergi ke pesta pernikahan, terlebih dahulu saya harus sabar menjelaskan pengertian musim kawin kepada anak saya. Tentu dengan menggunakan kata-kata sederhana yang disesuakan dengan bahasa anak-anak. Saya tidak mengharapkan ada pertanyaan balik, yang harus dijeskan lagi dan akan menambah waktu keterlambatan saya.

Penggunaan istilah “musim” pada berbagai hal yang berbeda, menurut saya sebuah kerancuan. Bahasa Indonesia tidak cukup memadai dalam memberikan istilah-istilah pada hal-hal yang berbeda. Akibatnya, dapat berakibat kesalahpahaman, contohnya anak saya di atas. Coba kita lihat, dalam Bahasa Indonesia, istilah “musim” tidak hanya digunakan untuk menerangkan kondisi iklim, seperti musim hujan dan musim kemarau, tetapi juga untuk hal-hal lainnya. Banyak hal menggunkan istilah ini, tidak hanya istilah musim kawin. Di Indonesia kita juga mengenal istilah musim rambutan, musim durian, musim banjir, dan musim-musim lainnya. Tapi biarlah, urusan kerancuan Bahasa Indonesia ini kita serahkan kepada yang ahlinya saja, mengutif kata yang dipopulerkan oleh almarhum Presiden Gusdur “gitu aja kok repot”.

Ada hikmah yang dapat saya peroleh dari pertanyaan anak saya. Penggunaan istilah dalam berkomunikasi dengan anak-anak, harus disesuaikan dengan bahasa anak-anak yang sederhana dan santun. Masih beruntung, ketika mendengar istilah “musim kawin”, dia mempersepsikan dengan istilah ‘musim kemarau dan musim hujan” yang dikenalkan oleh guru geografi-nya. Bagaimana jadinya, jika saat itu dia mempersepsikan dengan kebiasaan “musim kawin” yang terjadi pada jenis binatang-binatang tertentu. Tentu saya harus berfikir keras untuk menjelaskan secara panjang lebar. Beruntung anak saya masih kelas satu sekolah dasar, sehingga guru biologinya belum mengajarkan tentang perilaku perkembangbiakan makhluk hidup.

10 respons untuk ‘Hubungan Musim Kawin dengan Musim Menanam

  1. Nurut saya semakin banyak kita menanam pohon semakin banyak juga pohon yang habis jadi ilegal loging oleh orang yang tak bertanggung jawab.

    Salam Persahabatan dari blog disave.wp.com

    1. Realitasnya ini memang gak bisa dipungkiri mas, bahwa kecepatan pengrusakan hutan lebih besar dibanding kecepatan upaya rehabilitasi. Namun demikian optimisme tetap penting…

  2. semoga hari menanamnya tdk hanya serimonial belaka :)…tapi harus diiringin dengan kerja keras oleh semua pihak.jangan hanya gembar gembor masalah penanaman pohon saja tapi bagaimana mempertahankan hutan dan pohon yang sekarang masih ada..

  3. Aku selalu inget waktu dulu selalu ikut acara hari menanam setiap tanggal 28 November… dulu programnya 1 orang 1 pohon sekarang penanaman satu milyar pohon… nanti apalagi yaaa 🙄 Semoga Indonesia semakin hijau….

Tinggalkan Balasan ke Huang Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.