Isu perubahan iklim telah menjadi perhatian pemerintah sejumlah negara, badan internasional, para ilmuwan, NGO, dalam upaya mencegah terjadinya bencana yang dikenal sebagai pemanasan global. Salah satu usaha yang dilakukan ialah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari penggundulan dan kerusakan hutan.
Berbagai pertemuan internasional menyangkut perubahan iklim telah dilakukan di berbagai negara, diantaranya di Cancun Meksiko. Pada Bulan Desember 2010, di kota ini dilaksanakan konvensi internasional yang khusus membahas tentang perubahan iklim, COP (Conference Of the Parties) 16. Hasil konvensi yang dikenal dengan Cancun Agreement (Perjanian Cancun) dianggap berhasil memperbaharui kepercayaan banyak pihak untuk kembali bekerja sama dalam mengatasi perubahan iklim.
Konvensi menghasilkan kerangka kerja untuk beberapa komponen penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim, salah satunya adalah mekanisme REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degredation, carbon stock enhancement and forest conservation). Perjanjian Cancun memberi kerangka kuat untuk masuknya hutan hujan tropis dalam agenda utama penanganan perubahan iklim melalui Skema REDD+, adaptasi, konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan, serta pengelolaan hutan berkelanjutan. Selain itu, skema perjanjian Cancun merupakan pengakuan terhadap kontribusi aktif dari negara-negara berkembang dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Bagi Indonesia, REDD+ memiliki arti penting mengingat Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia. Selain itu, imbauan untuk bertukar pengalaman dari kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi dan perusakan hutan tropis, pertama kali tertuang secara formal di “Bali Action Plan” yang dihasilkan pada UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) COP-13 yang diselenggarakan di Bali pada Tahun 2007. Oleh karena itu, Presiden SBY telah membuat komitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan pendanaan dalam negeri, dan 41% dengan bantuan dari internasional pada tahun 2020, dari tingkat emisi BAU (Business As Usual atau kegiatan pembangunan tanpa pengurangan emisi). Dari penurunan emisi 26% dengan pendanaan dalam negeri di atas, sebanyak 14% berasal dari sektor kehutanan.
Mekanisme REDD+ dipakai untuk menggantikan mekanisme Protokol Kyoto (Clean Development Mechanism atau CDM) yang akan berakhir pada tahun 2012. Mekanisme REDD+ ini belum selesai dibahas di forum negosiasi tingkat internasional.
Pada tanggal 26 Mei 2010, sebagai perwujudan komitmen di atas, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Letter Of Intens (LOI) dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia untuk mewujudkan upaya pengurangan emisi GRK dari penggundulan dan kerusakan hutan serta konservasi lahan gambut.
Pelaksanaan REDD+ diwadahi dalam lima bentuk kegiatan utama yaitu: mengurangi laju deforestasi, mengurangi degradasi hutan, menjaga ketersediaan karbon melalui konservasi hutan, menerapkan sustainable forest management, dan meningkatkan stock karbon hutan dengan project proponent bisa berasal dari pemerintah, sektor swasta, lembaga dan organisasi masyarakat adat atau lokal, NGO dan mitra pembangunan internasional.
Upaya menyiapkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh UN-REDD Programme Indonesia, merupakan lembaga kerjasama antara pemerintah Indonesia (dalam hal ini kementerian kehutanan) dengan FAO, UNDP dan UNEP. Tujuan dari UN-REDD Programme Indonesia adalah membantu Pemerintah Indonesia agar siap menyongsong implementasi mekanisme REDD+ pada pasca tahun 2012.
Dalam pelaksanaan Inception Workshop di Jakarta pada bulan Maret 2010, Provinsi Sulawesi Tengah terpilih sebagai aktivitas percontohan (demonstration activity) UNRED Programme Indonesia. Selanjutnya, ditetapkan melalui Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Nomor 5.786/II-KLN/2010 tanggal 26 Juli 2010.
Penunjukan Sulawesi Tengah sebagai salah satu percontohan program UN-REDD+ didasari atas serangkaian kriteria seleksi: (1) masih ada deforestasi namun tutupan lahan masih relative baik; (2) kepadatan karbon yang relative tinggi; (3) dukungan poloitik daerah yang kuat; (4) kapasitas daerah yang cukup kuat untuk mendorong tercapainya hasil yang cepat; (5) penyebab deforestasi dapat dikenali dengan mudah; (6) REDD+ di wilayah ini dapat menghasilkan manfaat yang signifikan; (7) referensi pemerintah; (8) serta belum adanya inisiatif REDD+ lainnya di wilayah Sulawesi Tengah.
Aktivitas pembangunan kapasitas di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, diantaranya dilakukan melalui pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah, melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pokja ini ditetapkan melalui Keputusan Gubernur No. 522/84/DISHUTDA-G.ST/2011 tanggal 18 Februari 2011.
Sejak pembentukannya, beberapa hal terkait persiapan implementasi REDD+ telah dan sedang disiapkan oleh masing-masing bidang di Pokja, meliputi: (1) bidang kebijakan terkait implementasi REDD+ (Strategi daerah); (2) bidang kelembagaan dan metodologi; (3) bidang aktivitas percontohan (DA); dan (4) bidang FPIC, pemberdayaan dan pengembangan kapasitas daerah dan masyarakat.
Tentunya, dengan terpilihnya Provinsi Sulawesi Tengah sebagai sebagai aktivitas percontohan REDD+, diharapkan para pemangku kepentingan siap menyongsong penerapan upaya pengurangan emisi GRK dari penggundulan dan kerusakan hutan, dan beramai-ramai ikut berpartisipasi dalam menyelamatkan bumi.
banyak konten sulawesi tengah dan kekayaannya, saya jd pengen keliling sulawesi, lha wong kesana saja lum pernah :D, salam kenal kembali 🙂
sangat mendukung aplikasi REDD+ ini!
smoga Sultra berhasil dengan program ini.
dengan begitu, daerah lain di Indo pun akan mengikuti
mantap lah!
Makasih mas. Sulawesi Tengah disingkat jd Sulteng mas… bukan Sultra.
Sukses juga untuk anda
semoga saja pihak di Sulteng bisa menghadapi tantangan berat ini yg tentunya perlu dukungan dari semua orang.
Asli dari SULTENG yah ?
Menarik… tapi “forest conservation” itu… pada akhirnya bisa membawa manfaat ga ke penduduk lokal? Soalnya penduduk tentu merasa memiliki hutan, dan mereka ingin memanfaatkannya…
Jaya s’lalu Sulawesi Tengah.. :))
toleh kanan toleh kiri, Putrie Jrs lewat
Sulawesi Tengah memang punya kenangan bagi diri ku dan kawan-kawan. Bagaimana kondisi Sausu dan Ampana Mas? Masih adakah gas alam di pulau api ini selepas pantai Ampana? Juga suku Wana nya? Salam…
Mudah2an bisa impementasi mas… itu tantangan terberat, butuh yang lebih dari sekedar awarness… 🙂
Betul mas ini memang tantangan berat. Diharapkan dukungan dr berbagai pihak di Sulteng agar skema ini dapat terwujud dgn baik
Semoga provinsi Sulawesi Tengah bisa jadi contoh buat daerah yang lain dengan penerapan… REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degredation, carbon stock enhancement and forest conservation) 😀
Mudah-mudahan harapan ini terwujud…
Datang melihat kabar terbaru di kota sahabat.
Salam hangat selalu Om Noer. 😉
Makasih kunjungannya mas, slm hangat jg…