Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang menonjol. Dengan luas wilayah darat hanya 1 persen dari seluruh wilayah darat dunia, Indonesia memiliki sekitar 325.000 makhluk, yang merupakan lebih 16 persen makhluk di dunia (Dephut, 2000). Bersama Brazil, Zaire dan Meksiko, Indonesia tergolong negara megabiodiversity. Pulau-pulaunya yang berjumlah 17.000, membentang dari kawasan Indomalaya hingga Australasia, memiliki tujuh kawasan biogeografi yang penting dan anekaragam jenis habitat.

Banyak pulau yang terpencil selama ribuan tahun, karena itu tingkat kekhasannya (endemism) sangat tinggi. Sebagian serangga di Indonesia tidak ditemui di tempat-tempat lain, dan banyak genus terdapat di puncak-puncak gunung. Tiga pusat utama kekayaan spesies negeri ini adalah Papua yang sangat kaya spesies dan endemik, Kalimantan yang sangat kaya spesies dan endemik menengah, dan Sulawesi yang kaya spesies tingkat menengah dan endemik tinggi.

Habitat-habitat tanah berkisar dari hutan dataran rendah dipterocarp yang selalu hijau hingga hutan bermusim dan padang rumput savana, hutan dataran rendah non- dipterocarp, rawa dan hutan humus, hingga daerah alpin. Hampir semua terancam bahaya; jenis-jenis habitat ini susut antara 20 hingga 70 persen (Barber, et all., 1997). Dari segi keanekaragaman hayati, penyusutan hutan dataran rendah, terutama di Kalimantan dan Sumatera, paling membawa bencana. Penyusutan hutan-hutan dataran rendah dipterocarp yang kaya spesies berlangsung terus dengan cepat.

Luas wilayah perairan Indonesia 3.650.000 km2, hampir dua kali lipat wilayah daratannya. Panjang garis pantainya lebih dari 81.000 km, atau hampir 14 persen panjang garis pantai dunia. Pantai merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi dengan tingkat endemismenya. Sekitar 25 persen dari spesies ikan dunia ada di perairan Indonesia (Barber, et all., 1997).

Indonesia juga memiliki hutan mangrove yang luas. Sebelum tahun 1970-an,  diperkirakan terdapat sekitar 4,25 juta hektar hutan mangrove (Berwick, 1989 dalam Barber, et all., 1997). Namun kini luasan hutan mangrove dipastikan jauh lebih rendah dari angka di atas.  Berkurannya luas hutan mangrove ini diakibatkan oleh penebangan, fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Penebangan dan penggundulan hutan mangrove ini dapat mengganggu sumberdaya alam yang lain. Jika penggundulan hutan mangrove terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam species flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat.

Umumnya kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati dapat disebabkan oleh: (1) Laju peningkatan populasi manusia dan konsumsi SDA yang tidak berkelanjutan; (2) Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan dan perikanan; (3) Sistem dan kebijaksanaan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan pada lingkungan dan sumberdayanya; (4) Ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan dan penyaluran keuntungan dari penggunaan dan pelestarian sumberdaya hayati; (5) Kurangnya pengetahuan dan penerapan; (6) Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi.

Sejak lama, telah terjadi perusakan hutan dan perairan, sehingga terjadi kepunahan keanekaragaman hayati. Binatang dan tumbuhan telah punah atau terancam punah atau menjadi langka. Berhubung dengan itu, perlu peran serta berbagai pihak untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati tersebut.

Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya mencakup keanekaragaman spesies, antar spesies, dan ekosistem.

Peran keanekaragaman hayati sangat penting untuk kelangsungan sistem jejaring kehidupan, yang menyediakan kesehatan, kemakmuran, pangan, energi dan jasa yang sangat vital, bagi kehidupan manusia.

Beberapa metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara umum dapat dikelompokkan dalam konservasi insitu, konservasi eksitu, restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan lansekap terpadu, serta formulasi kebijakan dan kelembagaan.

Konservasi insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam implementasinya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya.

Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan. Dalam metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, arboretum, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam lingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi.

Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.

Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan. Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik di pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.

Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati.

7 respons untuk ‘Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

  1. suka dengan setatusnya yang masi ada menunjukan hayati alam untuk menunjukan kesadaran manusianya,
    terimakasi mas.

    1. Baik tidaknya sebuah metode tergantung pada konteknya mas. Namun, seluruhnya akan dapat lebih efektifit jika didukung oleh kebijakan yang tegas dan partisipasi positif dari masyarakat…

  2. Adakah yang lebih membanggakan Indonesia dengan hanya bangga kekayaan keragaman hayati??? sepertinya bangsa ini perlu banyak bersyukur dengan semua ini…..sebelum semua punah sia-sia!!

Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.