Jumlah penduduk yang semakin meningkat, dengan tarap kehidupan penduduk yang semakin membaik – walaupun hal ini tidak terjadi pada setiap penduduk – menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ini, dibangunlah pabrik, kendaraan, jalan gedung, rumah, serta berbagai teknologi untuk kepentingan manusia, yang umumnya terjadi di wilayah perkotaan. Wilayah ini menjadi pusat berbagai aktivitas yang tinggi dengan peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi. Banyaknya jumlah penduduk ini, menimbulkan suasana kompetisi di antara mereka. Akibatnya, suasana gotong royong dan kekeluargaan bergeser kearah gaya hidup yang selalu sibuk, berkejaran dengan waktu, serta segala kehidupan kompetisi lainnya yang bercampur dengan deru mesin pabrik dan kendaraan.
Bagi sebagian orang, rutinitas dan gaya hidup seperti di atas terpaksa harus dijalani karena tidak ada pilihan lain. Namun tidak sedikit orang mulai merasakan kebutuhan untuk kembali ke alam, back to nature. Untuk memenuhi kebutuhan ini, salah satunya dapat dilakukan melalui wisata alam (ecotourism), diantaranya wisata hutan.
Wisata hutan, seperti wisata alam (ecotourism) lainnya adalah wisata minat khusus, dan bukan wisata umum. Wisata ini cocok bagi mereka yang mendambakan suasana sepi tapi segar udaranya. Atau bagi yang mendambakan suara alam seperti kicau burung di alam bebas, desir angin, gemericik air terjun, karena setiap hari telinga lelah mendengar hiruk pikuknya pabrik atau kendaraan. Atau juga yang mendambakan warna-warni lembut seperti warna lumut yang menmpel di pohon, hijaunya daun, karena mata letih menatap mengkilapnya layar televisi dan komputer.
Untuk mengantisipasi kebutuhan akan wisata hutan yang semakin meningkat, disediakan sejumlah kawasan pelestarian alam yang difungsikan sebagai obyek wisata hutan, yaitu taman nasional, taman hutan raya, hutan wisata dan taman wisata. Di taman nasional dan taman hutan raya, kegiatan wisata hutan hanya dimungkinkan di zona pemanfaatan.
Berbeda dengan ketika kita melakukan wisata di tempat-tempat umum, untuk dapat menikmati obyek wisata alam dan untuk dapat melindungi serta melestarikan obyek wisata alam ada etika yang harus kita hormati. Beberapa norma etika ini diantaranya: (1) Hidupan liaran habitatnya tidak boleh dirusak; (2) Merupakan kegiatan yang berkelanjutan; (3) Sampah buangan menimbulkan masalah lingkungan dan merusak keindahan; (4) Pengalaman menjaring wisatawan harus dapat memperkuat apresiasi mereka terhadap konservasi alam dan lingkungan hidup; (5) Tidak boleh ada kegiatan perdagangan satwa atau hasil satwa yang dapat mengganggu kelestarian kehidupan liar, terutama jenis yang terancam punah; (6) Harus dipahami dan dihormati nilai-nilai budaya masyarakat setempat yang biasanya peka terhadap pengaruh luar.
Berwisata alam ke Sulawesi Tengah memang tidak akan hilang dari ingatan saya. Apalagi saat berkunjung ke Masyarakat Suku Wana. Suasana hutan lebat masih menyelimuti daerah itu. Warga suku masih ada yang tinggal di pohon dan sebagian sudah ada yang dimukimkan.
Dari masyarakat suku wana, tentu banyak kearifan lokal yg bisa menjadi pelajaran kita juga ya mbak…
Betul mas, sangat bersahaja kehidupan mereka. Apalagi dengan pola perladangan di tepi hutan, mereka menjaga kelesatarian hutan dengan segala isinya dengan baik. Masyarakat Suku Wana saat berburu binatang buruan ke dalam hutan tidak rakus untuk menjerat binatang buruan ( babi hutan ) sekali pun populasi mereka sering mengancam tanaman ladang yang ditanam masyarakat suku Wana.
berkunjung malam hari nih maaf br sempet bertamu ke sini.. 🙂
Trimakasih kunjungan malamnya mas…
saya suka wisata yg seperti ini tapi susah mengatur waktunya
Sibuk terus nih mas…
Terimakasih kunjungannya mas
Saya sering juga berwisata alam ke salah satu daerah wisata ditempat saya Mas.
Suasananya yang alami, Menenagkan…
Di sana tentu banyak tempat-tempat wisata alam mas ya…