Siang hari itu, kami berada dalam sebuah jamuan makan. Tidak seperti acara makan bersama pada umumnya, dimana nasi beserta lauk pauk disajikan di meja makan. Tidak ada piring yang digunakan untuk menempatkan nasi beserta lauk pauk yang akan disantap. Juga tidak ada sendok yang dipergunakan untuk mengambil nasi atau lauk pauk. Pada jamuan makan di siang hari itu, hidangan yang terdiri dari nasi disajikan di dulang yang dilapisi dan ditutup dengan daun pisang. Di dalam dulang juga terdapat sayur (lauk-pauk) berupa daging sapi yang dimasak seperti coto yang di tempatkan di dalam mangkok berbahan batok kelapa. Setiap orang mendapatkan satu dulang dengan porsi nasi yang cukup banyak, sehingga banyak yang tidak mampu menghabisi hidangan ini. Apabila hidangan dalam dulang ini tersisa, maka sisanya dibungkus dengan daun pisang dan dibawa pulang ke rumah masing-masing, katanya sih biar keluarga yang lain bisa ikut menikmati. Jika tidak dibungkus dan dibawa pulang, maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi berupa denda.
Sebenarnya keberadaan saya di tengah jamuan makan itu merupakan sebuah kebetulan. Saat itu, saya yang ditemani oleh salah seorang koordinator penyuluh kabupaten akan melakukan verifikasi atas penilaian sebuah lomba wanalestari. Karena calon pemenang yang akan diverifikasi sedang menyelenggarakan pesta pernikahan keponakannya, maka kami dipersilakan mengikuti jamuan makan secara adat sebelum kegiatan verifikasi dilakukan.
Jamuan makan secara adat yang kami ikuti itu berada di Desa Sungku. Pengalaman makan dengan menggunakan dulang kali ini sebenarnya bukan yang pertama kali saya ikuti, sebelumnya saya pernah dua kali mengikuti kegiatan serupa yang dilaksanakan di Ngata Toro. Namun demikian, acara adat ini selalu mengingatkan saya pada cerita kerajaan dahulu kala, sehingga selalu membuat kesan yang cukup mendalam. Desa Sungku dan Ngata Toro, berada di sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Secara administratif kedua desa ini berada di Kecamatan Kulawi, sebuah wilayah yang berada di Kabupaten Sigi. Kecamatan Kulawi merupakan wilayah pegunungan yang dikenal dengan budaya adatnya yang unik. Musik bambu merupakan salah satu kebudayaan yang saat ini masih bertahan, dan menjadi kebanggaan masyarakat dataran Kulawi.
Semoga kearifan lokal masyarakat adat dapat terus bertahan.
gurih ya mas sepertinya, apa lagi disantapnya dari tempatnya yang unik gitu, yang dari batok kelapa 😀
Selai Kacang
Orang mengatakan bahwa pengalaman Mas Noer ini langkah kanan. Kebetulan kerja tapi ketemu perisitiwa eksotis ini. Foto2 makanannya keren. Kok kebetulan juga hari ini saya menulis tentang daun pisang sebagai kemasan makanan 🙂