
Pola penguasaan lahan di desa sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah secara sederhana terdiri dari 3 pola, meliputi lahan milik perorangan, lahan milik keluarga (tanah budel), dan lahan sewa. (1) Lahan milik perorangan merupakan lahan yang secara hukum menjadi hak milik satu orang, sekaligus yang bersangkutan melakukan pengelolaan terhadap lahan tersebut. (2) Lahan milik keluarga (tanah budel) merupakan lahan dalam satu hamparan, berasal dari peninggalan orang tua yang telah meninggal, tetapi belum dibagikan kepada masing-masing ahli waris (anak-anaknya). Terhadap tanah budel, mereka biasanya melakukan pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara bersama-sama atau bergiliran. Jika tanah budel ingin dijual, maka seluruh ahli waris harus menyetujuinya. (3) Sewa lahan merupakan orang yang menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu yang berorientasi kepada pendekatan ekonomis.
Disamping pola penguasaan atas lahan seperti di atas, terdapat juga masyarakat yang memiliki kebun di dalam kawasan Tahura. Istilah “memiliki” dalam konteks pola ini sebenarnya kurang tepat mengingat secara yuridis mereka tidak memiliki hak kepemilikan atas lahan kebun tersebut. Kebun di dalam kawasan Tahura merupakan kondisi tumpang tindih penguasaan lahan (tenurial) antara masyarakat dengan negara (pengelola kawasan). Masyarakat beranggapan bahwa lahan yang mereka kuasai merupakan lahan warisan nenek moyangnya yang sudah ada sebelum adanya penunjukan kawasan Tahura. Di sisi lain, ketentuan perundang-undangan mendefinisikan bahwa aktifitas masyarakat yang melakukan pengelolaan kebun di dalam kawasan merupakan tindakan illegal dan melanggar hukum.
Tahura merupakan kawasan pelestarian alam yang ditetapkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, dari jenis asli atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, secara umum pengelolaan kawasan konservasi merupakan kewenangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Satu-satunya kewenangan provinsi terkait dengan kawasan konservasi adalah sebatas pengelolaan Tahura.
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki Tahura seluas 7.128 Ha, terletak di lintas antara Kota Palu dan Kabupaten Sigi. TAHURA berada pada kondisi topografi datar, berbukit dan bergunung, dengan kemiringan 8 – 60 persen, dan ketinggian 100 – 1.500 dari permukaan laut.
Beberapa potensi flora yang terdapat di Tahura Sulawesi Tengah diantaranya cendana (Santalum album), angsana (Pterocarpusindicus), nyatoh (Palaquium sp) dan kayu hitam (Diospyros celebica). Dengan potensi fauna diantaranya burung tekukur hutan (Geopelia sp., Streptopelis sp), burung kakak tua jambul kuning (Cacatua sulphurea) dan biawak (Varanus salvator).
Guna mempertahankan potensi dan agar secara optimal dapat berperan sesuai dengan fungsinya, maka kepedulian masyarakat dan para pihak untuk menjaga dan melestarikan hutan akan memberikan pengaruh positif dalam pencapaian tujuan pengelolaan Tahura.
Flora SulTeng selalu mengait ingatan ke kayu hitam. Populasinya masih cukup tinggikah Pak. Salam
berharap semoga hutan disana terus terjaga, sama halnya seperti hutan di Aceh 🙂