Tulisan ini merupakan kutipan dari materi salah satu konsultan yang disampaikan pada ekspose hasil kegiatan penanggulangan dan pemulihan kerusakan terumbu karang dengan metode transpalantasi. Sebagai oleh-oleh sebatas yang sempat saya catat dalam mengikuti pertemuan yang dilaksanakan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, 15 November 2011.
Kegiatan penanggulangan dan pemulihan kerusakan terumbu karang dengan metode transpalantasi di Kabupaten Parigi Moutong, diselenggarakan oleh Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi, Maluku, Papua Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Parigi Moutong dan Spermonde Institute.
Hasil kegiatan diantaranya bahwa sekitar masyarakat nelayan sangat respon dengan kegiatan yang dilakukan. Nelayan sekitar lokasi kegiatan, merasa terlindungi dengan adanya kegiatan , utamanya nelayan sero, pancing , ekowisata mangrove dan wisata keindahan bawah laut lainnya. Nelayan yang biasa melakukan penangkapan di sekitar Pulau Makakata 3 th telah mengalami penurunan yang sangat signifikan.
Ekosistem mangrove telah mengalami degradasi yang cukup luas dan menghawatirkan, karena telah rusak yang berakibat hilangnya satwa lain, aksesnya putusnya rantai makanan. Salah satu ciri rusaknya sebuah ekosistem, hilangnya satu atau beberapa spesies dominan. Berbahgai jenis ikan dan jenis burung yang telah hilang, ada beberapa jenis ikan yang bersimbiosis dengan hutan mangrove, sebagai tempat membesarkan anakannya yang sebelumnya melakukan ruaya dari karang ataupun dari padang laun.
Terumbu karang di sekitar pulau Makakata pada umumnya telah mengalami kerusakan yang cukup parah akibat: pemboman; pembiusan; sedimentasi; pemanasan global; serangan acanchaster; limbah rumah tangga; dan Sisa tebangan mangrove yang menutupi karang.
Akibat pengeboman tidak ada tanda kehidupan, gersang, sunyi dan kehawatiran sekiranya umur karang 200 th yang lalu dirusak seketika bisa dibayangkan pertumbuan karang dalam setahun hanya 1 cm massip.
Akibat pembiusan ikan, secara langsung hamparan terumbu akan menjadi mati seketika (zooxantella) dan sejauh aliran air yang mengandung sianida, karang menjadi putih dan mati. Sedangkan secara tidak langsung, terganggunya saraf ikan mempengaruhi generasi; bukan hanya karang, ikan yang mati tapi lebih jauh dari itu, biota lainpun akan menghilang dari ekosistem; dan terputusnya rantai makanan, spesies ikan akan berkurang /punah.
Beberapa isu permasalahan diantaranya: (1) petugas yang berwenang seringkali melakkan konspirasi dengan nelayan karena punya kepentingan; (2) tidak melakukan tugas di perairan karena alasan klasik, tidak ada surat tugas, medannya yang sulit, biaya transfortasi mahal, namun kelihatannya banyak kegiatan yang lebih mahal namun bisa dilakukan dengan baik; dan (3) tidak ada komunikasi / kordinasi di lapangan dalam arti luas, seringkali disalah artikan hanya mengarah sesaat.
Untuk meminimalisasi destractif fishing perairan potensi perlu upaya: (1) penegakan hukum yang serius sebagai amanah Rakyat; (2) optimalisasi kelompok masyarakat peduli ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun; (3) eksplorasi potensi wilayah, mendukung program pemberdayaan; (4) pemanfaatan sumberdaya alam berwawasan lingkungan, dengan tetap memperhatikan kelayakan lahan dan daya dukung lokasi; (5) eksplorasi potensi mata pencaharian alternatif masyarakat pesisir, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal; (6) mengungkap kearifan lokal sebagai budaya masyarakat, dapat memperkecil desakan terumbu karang dan munculnya potensi baru; (7) memberikan ruang masyarakat pessisir untuk mengakses pendanaan / Bank. Tanpa agunan; (8) regulasi yang mengatur tentang perairan, jelas Undang-undang no 27 th 2007, namun seringkali tidak dijalankan sesuai aturan yang diamanatkan, olehnya memerlukan usaha untuk mengkawal aturan tersebut sampai pada tingkat eksekusi; (8) keterlibatan masyarakat sangat diharapkan dalam pengelolaan pesisir, dan pulau-pulau, masalah lain yang menjadi alasan klasik, adalah masalah dana.