Apa Kata Dunia

Kemarin, ketika aku masuk kantor, aku sedikit heran karena di depan ruanganku ada banyak teman-teman. Aku pikir hari ini kan baru tanggal 31 Maret, kenapa teman-teman sudah pada ngerumuni bendahara, ada amprah kenaikan gajian apa ya…?
Saat mendekat, aku lihat teman-teman sedang mengisi sebuah formulir. “Ada apa nih bu…” tanyaku pada Bu Shifa, salah seorang teman kantorku.
“Kita lagi ngisi blanko SPT pajak nih kang…” Bu Shifa menjawab sambil menujukan lembaran SPT yang sedang dia isi.
“Oooh…” aku mengangguk sambil memberikan senyum kepada Bu Shifa. Kemudian aku masuk ruang kerjaku.
___________________________________

Seusai menyelesaikan beberapa pekerjaan yang dari kemarin sudah menunggu di atas mejaku, lantaran satu hari setengah aku tidak masuk kantor untuk melaksanakan tugas dinas di kabupaten, aku berniat istirahat untuk sholat duhur dan makan siang. Tiba-tiba Pak Rudi salah seorang bos di kantor yang cukup familiar denganku, masuk ke ruangan untuk sesuatu urusan yang terkait denganku. Setelah urusannya selesai, Pak Rudi tidak langsung pergi, seperti biasa beliau ngajak ngobrol sambil beradu tembakau (merokok). Untuk mengurangi gumpalan asap rokok di ruangan, aku sengaja membuka jendela dan pintu ruangan.

“Sudah ngasih laporan SPT pajak tahunan kang…” Pak Rudi menyampaikan pertanyaan dengan topik yang saat ini lagi aktual. Barangkali karena waktu Pak Rudi melewati meja bendahara tadi, beliau melihat beberapa teman yang sedang mengisi blanko SPT.
“Belum pak… karena saya belum punya NPWP, walaupun setiap saya mendapat honor atau upah pada beberapa pekerjaan di kantor selalu dikenakan potongan pajak” jawabanku.
“Oh gitu ya…, bukannya tahun lalu di kantor kita ada pengurusan NPWP kolektif kang…” Pak Rudi jadi heran mengetahui aku belum memiliki NPWP.
“Betul pak, tapi pada pengurusan saat itu masih ada beberapa pegawai yang belum dapat NPWP, termasuk diantaranya saya pak…” aku meyakinkan beliau.
“Kalau begitu NPWP-mu harus cepat diurus kang, penting itu…” Pak Rudi menanggapi informasi yang aku sampaikan dengan nuansa sedikit instruksi.

Kemudian Pak Rudi mulai berceramah “Masyarakat dan unit usaha yang memiliki penghasilan kena pajak wajib memiliki NPWP. Kini pajak menjadi sumber pemasukan utama bagi pendapatan negara. Pada Tahun 2008 pajak memberikan kontribusi 68,3 % dari total penerimaan negara, sedangkan Tahun 2009 penerimaan pajak meningkat menjadi 71,1 % dari total penerimaan negara”.

Lebih lanjut Pak Rudi mengatakan “meskipun kontribusi pajak dalam penerimaan negara cukup besar, namun jumlah wajib pajak resmi di Indonesia sangat sedikit. Jumlah pembayar pajak hanya 6,6 juta. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan total usia produktif di Indonesia yang mencapai 170 juta. Seharusnya ada lebih banyak penduduk Indonesia yang membayar pajak, sehingga pendapatan negara juga naik dan melalui pendapatan pajak tujuan bernegara dalam upaya mensejahterakan rakyat dapat menjadi suatu keniscayaan, Insya Allah …”

“Sebagai warga negara yang baik, maka kita wajib memiliki NPWP… Masa hari gini belum punya NPWP sih kang…?” kritik Pak Rudi.
“Walaupun saya belum punya NPWP, tapi kan saya selalu membayar kewajiban pajak pak…? ” jawabku sekaligus meminta pendapat Pak Rudi.
“Kalau begitu, biarpun kamu bayar pajak tapi dalam catatan Ditjen Pajak namamu tidak terdaftar sebagai seseorang yang telah membayar pajak, rugi dong…. Persamaan untuk kasus ini biasa terjadi dalam daftar pembangunan masjid ketika ada penyumbang yang ikhlas dan tidak mau dikenal maka biasanya ditulis Hamba Allah, atau kalau dalam daftar penyumbang pembangunan gereja biasa ditulis NN. Begitulah kira-kira…”” Pak Rudi memberikan contoh sederhana.
“Wah… saya termasuk dalam kategori warga negara yang ikhlas dalam membayar pajak dong pak…, walaupun dalam catatan Ditjen Pajak namaku tidak dikenal hehehe…” aku coba bergurau untuk lebih mencairkan suasana.
“Hahaha… walaupun aku ngasih contoh tentang sumbangan pembangunan masjid dan gereja, tapi pajak ini bukan urusan agama, pajak ini kan urusan berbangsa dan bernegara, oleh karena itulah maka urusannya mesti jelas…” Pak Rudi mengakhiri obrolannya sambil tertawa dan berniat keluar dari ruanganku.

Rupanya bos yang satu ini peduli pajak juga…
___________________________________

Ketika Pak Rudi hendak berdiri dari kursi yang telah didudukinya, tiba-tiba handpone-nya berdering. Pak Rudi menerima panggilan telepon dari Staf Toko Elektronik milik isterinya, yang mengabarkan bahwa toko harus membayar kekurangan pajak pada dua tahun yang lalu dengan jumlah yang cukup besar.

Tidak lama setelah Pak Rudi menutup panggilan telepon dari toko, tiba-tiba handpone-nya berdering, isterinya yang berada di Bandung sedang mendampingi anak pertamanya ikut bimbingan belajar untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi di sana, menelpon dirinya. Kepada Pak Rudi, isterinya mengatakan bahwa dia pernah didatangi oleh seseorang semacam makelar kasus yang bisa mengurus penghapusan pembayaran kekurangan pajak dengan hanya membayar seperempat dari jumlah kekurangan pajak yang harus dibayar. Sisa pajak yang tidak dibayar, isterinya bilang bisa dipake untuk nambah biaya anaknya masuk perguruan tinggi yang saat sekarang tambah melangit.

Untuk ukuran seorang PNS, Pak Rudi termasuk cukup mapan. Sudah jadi bos dan memiliki isteri yang berbakat jadi pedagang. Walaupun sebenarnya Pak Rudi sendiri mengatakan tidak memiliki jiwa dagang.

Setelah menerima dua kali panggilan telepon, Pak Rudi memperbaiki posisi duduknya sehingga kembali berhadapan denganku dan tidak jadi keluar. “Isteri saya sudah satu minggu di Bandung kang… Sedangkan staf keuangan toko yang selama ini jadi andalan sedang pulang kampung karena orang tuanya sakit… Makanya saya mesti tangani dulu urusan toko, termasuk masalah pajak kaya gini…” Pak Rudi berbagi cerita denganku.

Belum selesai Pak Rudi bercerita, beliau kembali menerima panggilan telepon dari staf toko, memberitahu bahwa ada seseorang yang datang ke toko dan mengaku biasa membantu isterinya dalam urusan pajak. Orang ini menawarkan bantuan untuk mengurus penghapusan pembayaran kekurangan pajak dengan hanya membayar jasa kepada dia sebesar 25 % dari jumlah pajak.

Menanggapi tawaran ini, melalui telepon Pak Pak Rudi mengarahkan stafnya agar menolak tawaran makelar dan lebih memilih untuk membayar kekurangan pajak tokonya walaupun dengan jumlah yang cukup besar.

Setelah menutup handpone, sambil berdiri hendak keluar dari ruanganku, Pak Rudi mengatakan “Kalau saya menerima tawaran markus pajak, berarti saya juga mengamini tindakan Gayus Tambunan…. Kalau demikian, apa kata dunia… ”

Setelah Pak Rudi keluar, salah seorang teman yang sedang mengetik dan dari awal mendengar pembicaraan Pak Rudi menghampiriku sambil mengatakan “coba kalau tadi beliau terima tawaran markus pajak, terus sisa pajak yang tidak dibayar sebesar 75 % tadi dikasih ke kita… cair kita kang… hahaha…” kami berdua tertawa.
_________________________________

Palu, 1 April 2010 

Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.