Pencerahan dari Panti

Temanku di kantor namanya Mas Anas, bila kendaraannya kotor selalu dicuci di tempat pencucian kendaraan milik sebuah panti asuhan. Dia menceritakan pengalamannya, sehingga akhirnya akupun mengikuti langkah dia.

Lima tahun yang lalu, pada permulaan pengalaman itu, dia mengatakan bahwa “saya mencuci motor di sana, supaya rizki saya lancar”. Walaupun saya tidak setuju terhadap argumennya, namun demi pertemanan aku menghormati keyakinannya itu. Sampai sekarang dia dan aku masih mencuci kendaraan di sana.
______________

Berbeda dengan cerita teman yang aku kenal baru satu tahun ini, namanya Maman, aku cukup mengaguminya karena dia termasuk orang yang berani dan hebat dalam hal lobi. Di bidang usahanya dia termasuk berani mengambil resiko tinggi, sehingga terkadang harus menyerempet atau bahkan harus nabrak rambu-rambu etika dan aturan.

Ketika aku dan dia terlibat pembicaraan pribadi, dari hati ke hati, ternyata dia memiliki obsesi ingin mendirikan sebuah panti asuhan yang dihuni oleh anak-anak yatim piatu. Terus terang dalam hatiku terasa geli juga mendengar keinginannya itu. Sangat kontras antara apa yang dia lakukan dengan apa yang dia inginkan. Dia menceritakan “masa kuliah saya dulu dilalui dengan sulit, bapak sudah meninggal pada saat saya sekolah SMA. Hanya karena modal nekad saya bisa kuliah dengan biaya sendiri”.

Mengenai nekadnya si Maman ini, aku pernah dengar dari adik tingkat kuliahnya yang menceritakan keberhasilan dia mendirikan koperasi mahasiswa dengan modal nol dan kemudian bisa berkembang maju besar, sampai dia terpilih menjadi entrepreneur muda kampus. Waktu aku klarifikasi cerita ini, dia mengiyakan sambil memperlihatkan foto-foto masa dia menjadi mahasiswa.

Dalam setiap kesempatan pembicaraan serius denganku dan teman-teman dekatnya, dia selalu mengatakan “saya ingin mendirikan panti asuhan, karena saya mau membantu anak-anak yang susah seperti saya dulu”.

Aku berpikir jangan-jangan si Maman ini mau balas dendam terhadap nasib susahnya dulu. Lagi-lagi aku sebenarnya kurang setuju terhadap argumen si Maman, namun karena yang ingin dilakukan hal yang positif, aku menghormati dan selalu mendorong agar mewujudkan keinginannya itu.
______________

Teman lain yang aku kenal satu bulan yang lalu, aku mengingatnya sebagai Pak Tua. Pada saat aku ikut sholat magrib berjamaah di sebuah panti asuhan yang berdekatan dengan komplek perumahanku, setelah selesai menjumpai ustad pimpinan pengasuh panti, di emper mushala panti aku berjumpa dengan salah seorang laki-laki kurang lebih berumur 60 tahunan.

Aku berkenalan, ternyata dia bukan pengurus panti. “Saya dari komplek perumahan ini kang…” dia mengenalkan dirinya.
“Baru pindah pak…” tanyaku pingin tahu.
“Saya di sini sudah satu bulan. Kemenakanku yang punya rumah di sini kang…” dia lebih detil menjelaskan.
“Sama dong pak, saya juga tinggal di perumahan ini…” aku menyambut penjelasannya.

Akhirnya aku dan dia terlibat obrolan, walaupun sebenarnya aku lebih banyak mendengar. Tidak ada hal yang membuatku terkesan pada perkenalan itu. Setelah itu, aku pamit pulang.

Pagi harinya, pada saat aku olahraga jalan mengelilingi jalanan komplek perumahan. Ketika melintasi halaman panti, aku melihat dia diantara anak-anak panti yang sedang menyapu halaman.
“Olahraga kang…” dia tersenyum menyapaku.
“Betul pak, …buang keringat supaya badan gak melar terus…” aku membalas sapaannya. Setelah saling menyapa dan sedikit berbincang-bincang kemudian aku melanjutkan jalan.

Satu minggu kemudian, ketika aku ke panti dan ikut berjamaah sholat dhuhur, aku jumpa lagi dengan dia. Aku jadi penasaran, kenapa dia sering ada di panti. Setelah selesai sholat, aku menyapa dia untuk menyampaikan rasa penasaranku. Di depan masjid, sambil berdiri memandangi barak tempat tidur para anak panti, dia bercerita mengenai pengalaman hidupnya.

Ada hikmah yang saya peroleh setelah mendengar pengalaman hidup dia. Namun, dilatar belakangi oleh rasa penasaranku yang belum terjawab, akhirnya aku bertanya “kenapa bapak suka sekali sholat di masjid panti asuhan ini…”.
Mendengar pertanyaanku ia sedikit tersenyum, seperti sedang merasakan sebuah kenikmatan. Kemudian dia menjawab “saya selalu berusaha sholat berjamaah di panti, karena di sini banyak anak yatim. Saya meyakini bahwa sholat dan doa yang diamini oleh anak yatim akan didengar oleh Allah. Gimana kang…? ”.

Aku sedikit kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba dia. “betul, betul pak…” aku menjawab sambil mengagguk-anggukan kepala, ingin mendengar penjelasan lebih jauh.

Kemudian dia mengatakan “anak-anak itu belum banyak berbohong, masih bersih. Berbeda dengan kita yang sudah banyak berbohong dan kadang-kadang entah itu disengaja atau tidak disengaja melakukan perbuatan dosa. Allah maha suci, oleh karena itu Allah suka doanya manusia yang suci ”.

Menutup penjelasannya dengan tersenyum dia mengatakan”karena saya ingin berada bersama manusia yang dicintai oleh Allah itulah kang…, saya suka sholat di panti sini”.

Mendengar ketulusan penjelasannya, walaupun dia bukan seorang ustad dan penjelasannya tidak disertai dengan dalil dan hadis, tapi aku setuju dan sangat menyentuh hati sanubariku yang terdalam.
______________

Tadi malam, ketika aku ikut berjamaah sholat magrib, aku tidak menjumpai dia lagi. Pak Imam memberitahu aku bahwa Pak Tua pergi ke Makassar. Aku heran kenapa tiba-tiba aku pengen ketemu dengan pak Tua.

Karena penasaran, pagi-pagi aku mencari rumah kemenakannya. Pada saat aku jumpa dengan kemenakannya, ia terlihat sedih mengabarkan bahwa pamannya, yang biasa aku ingat sebagai Pak Tua, telah meninggal dunia satu minggu yang lalu karena kanker yang menggerogoti hatinya. Sontak aku kaget mendengar kabar ini, sambil berucap “Inalillahi Wainnailairojiun…”.

Aku lebih kaget lagi mengetahui identitas Pak Tua yang sebenarnya, ternyata dia seorang guru besar filsafat, seorang professor dari salah satu perguruan tinggi ternama di Kota Makassar.

Aku pamit pulang, dalam perjalanan alam bawah sadarku bertanya-tanya, setelah sekian tahun aku hanya menjumpai orang-orang yang memandang panti dari aspek pragmatis, seperti halnya dua orang temanku di atas, kenapa ketika baru saja aku menjumpai orang yang memiliki pemahaman dalam tentang panti, tetapi begitu cepat dia kembali ke hadirat-Mu.

Sepulang di rumah, aku ambil laptopku beserta dengan modem eksternal untuk koneksi internet. Melalui halaman google aku ketik nama aslinya Pak Tua. Melalui google aku mendapatkan blog milik PakTua, dengan tulisan-tulisan filsafatnya. Subhanallah, aku dibuat terkagum-kagum, “kok… orang sekaliber dia berperilaku sangat sederhana sampai-sampai aku dan penghuni panti tidak mengenali dia, walikah dia?”.

Palu, 7 Februari 2010.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.