Dialektika Pelestarian Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah

Perbedaan cara pandang antara konservasionis dengan ekonom (developmentalis) tentang perlunya perlindungan dan konservasi sumberdaya alam selalu mewarnai perdebatan dalam kontek sumberdaya alam. Tidak jarang perdebatan tersebut juga terjadi antara konservasionis dengan mereka yang pro rakyat (sosialis). Pada tataran implementasi, kerap kali perbedaan-perbedaan ini melahirkan masalah yang tidak mudah untuk penyelesaiannya.

Tambang Emas Poboya merupakan salah satu contoh masalah yang serius di Sulawesi Tengah. Suatu lokasi penambangan yang berada di dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura), yang dibuka oleh sekelompok masyarakat. Tahura merupakan salah satu kawasan lindung yang terletak di antara Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Hutan ini merupakan satu-satunya kawasan konservasi yang pengelolaannya berada di bawah kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Penetapan kawasan ini dilakukan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999 tanggal 29 Januari 1999, dengan luas 7.128,00 Ha.

Kurang lebih dalam tiga tahun terakhir ini, telah terjadi penambangan di dalam kawasan yang seharusnya diperuntukan hanya untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Pada lokasi penambangan, banyak terdapat lubang-lubang menganga hasil galian para penambang. Pemukiman penambang yang ramai oleh warung dan toko bahkan bengkel kendaraan pun ada di sana, layaknya Pasar Masomba atau Pasar Manonda, dua pasar tradisional terbesar di Kota Palu. Dampak kerusakan lingkungan dari kegiatan ini diantaranya udara, air dan tanah di sekitar kawasan ini telah tercemar oleh zat-zat kimia berbahaya, seperti mercuri yang digunakan dalam proses pengolahan tambang. Banyak masyarakat Kota Palu yang menghawatirkan tercemarnya air ledeng (PDAM), mengingat sumber airnya berasal dari sekitar kawasan yang memiliki kondisi topografi datar, berbukit dan bergunung, dengan kemiringan 8 – 60 persen, dan  ketinggian 100 –  1.500 dari permukaan laut ini.

Kegiatan penambangan juga dapat mengancam kelestarian flora dan fauna yang ada di kawasan Tahura, yang memiliki potensi flora diantaranya cendana (Santalum album), angsana (Pterocarpusindicus ), nyatoh (Palaquium sp) dan kayu hitam (Diospyros celebica). Dengan  potensi fauna diantaranya burung tekukur hutan (Geopelia sp., Streptopelis sp), burung kakak tua jambul kuning (Cacatua sulphurea ) dan biawak (Varanus salvator).

Kenyataan Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Di Provinsi Sulawesi Tengah, seperti halnya daerah lainnya di Indonesia, kenyataan ekonomi dan sosial ini adalah kondisi penduduk yang umumnya miskin dan berada di sekitar kawasan hutan. Kurang lebih 51,61 % wilayah Sulawesi Tengah ada di sekitar kawasan hutan, dan ada 724 desa dari 1.686 desa terletak di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Kenyataan ekonomi dan sosial ini juga mencakup kegiatan yang didominasi dan bertumpu pada hasil-hasil sumberdaya alam, seperti perkebunan, pertambangan dan kegiatan ekonomi lainnya yang dekat atau bahkan berada di dalam kawasan lindung.

Poboya merupakan salah satu kelurahan yang terletak di pinggir Kota Palu, dimana wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan Tahura. Sebagian besar penduduknya menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya di daerah itu, dengan pekerjaan sebagai petani atau berkebun.

Bagi sebagian masyarakat Poboya, keberadaan tambang emas merupakan berkah. Logam berwarna kuning mengkilap yang biasa dibuat perhiasan seperti cincin atau kalung dan mahal harganya ini, menjadi mata pencaharian baru. Dalam beberapa tahun saja, hasil penambangan telah mampu merubah gaya hidup sebagian warga. Beberapa orang penambang bercerita, bahwa semenjak ada kegiatan penambangan, kepemilikan kendaraan pada masyarakat lokal meningkat, dalam satu rumah tangga terkadang memiliki lebih dari satu kendaraan. Perubahan lain terjadi pada lalu lintas kendaraan di wilayah mereka menjadi ramai.

Keberadaan tambang emas Poboya ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat lokal semata, tetapi juga oleh masyarakat urban yang telah terbiasa bekerja di pertambangan. Para pengusaha yang memiliki tromol, mesin yang menggiling dan menghaluskan tanah bebatuan yg mengandung emas, juga termasuk pihak yang diuntungkan dari keberadaan tambang ini.

Kini, tambang emas Poboya seakan telah menjadi sumber mata pencaharian yang menjanjikan. Ribuan orang bergantung langsung pada sumberdaya yang ada di dalam kawasan Tahura ini. Karena itu, seperti diceritakan oleh beberapa orang penambang, bahwa masyarakat lokal Poboya akan selalu mempertahankan kegiatan penambangan agar tidak dilakukan penutupan. Kepada anak-anaknya, mereka mengatakan “biarlah kita mati (untuk mempertahankan kegiatan penambangan emas), yang penting kehidupan anak-anaku tidak sengsara seperti saya”. Sebuah interaksionisme simbolik dari rakyat, untuk menjadi perenungan dan tindakan yang bijaksana para pengambil keputusan di daerah ini. 

Pelestarian Lingkungan Yang Humanis

Seorang teman dari Komunitas Konservasi Indonesia mengatakan bahwa sejarah pembangunan hutan di dunia selalu diawali dari peristiwa kerusakan hutan. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pertentangan antara konservasionis dengan ekonom atau antara konservasionis dengan sosialis dalam kontek sumberdaya alam akan selalu ada.

Proses di atas, seperti digambarkan oleh Teori Dialektika Hegel, bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan dua hal dan yang kemudian bertentangan dengan yang lain sehingga menimbulkan hal lain lagi.  Hegel menyatakan bahwa proses perubahan yang pasti melibatkan tiga elemen yang terdiri dari: (1) thesis, sebuah hal atau pemikiran yang eksis; (2) antithesis, lawan atau kebalikannya; dan (3) synthesis, kesatuan yang dihasilkan dari interaksinya dan yang kemudian menjadi thesis dari gerak dialektik lainnya. Dialektik Hegel memiliki karakter membangun dan evolusioner, dan tujuan akhirnya adalah penyempurnaan seutuhnya.

Bagi sebagian besar orang yang terlibat dalam upaya konservasi kenekaragaman hayati, keberadaan kawasan lindung, seperti Tahura,  yang dipelihara dan dikelola secara efektif diyakini sebagai sendi utama seluruh upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Namun, mereka juga sependapat bahwa masa depan kawasan lindung akan suram, kecuali jika pengelolaan kawasan lindung, terutama di daerah yang sedang berkembang, memperhitungkan kenyataan ekonomi dan sosial di kawasan sekitarnya (lihat, Carles Victor Barber, dkk., 1997).

Karena itu, keutuhan kawasan Tahura Sulawesi Tengah tidak dapat dipertahankan tanpa menyediakan bagi penduduk lokal yang hidup bergantung langsung pada sumberdaya di daerah itu, sumberdaya pengganti dan peluang untuk mendapat penghasilan.

Dengan kenyataan di atas, maka upaya pelestarian kawasan Tahura di Sulawesi Tengah perlu dilakukan dengan memadukan antara pelestarian dengan kepentingan masyarakat lokal dan mendorong pembangunan ekonomi dan sosial berbagai masyarakat yang hidup dekat perbatasan kawasan Tahura. Upaya ini meninggalkan kebijakan pelestarian hutan gaya lama, yang berakar pada masa pemerintahan Belanda, dengan menutup semua jalan masuk ke kawasan lindung, menghukum orang yang memasukinya, dan umumnya tidak mempedulikan kegiatan atau tuntutan sosial dan ekonomi kawasan sekitar.

Model yang dapat diterapkan dalam pengelolaan kawasan Tahura adalah Integrated Conservation and Development Projects (Proyek Pelestarian dan Pembangunan Terpadu), atau seperti model pengelolaan Cagar Biosfer (Biosphere Reserves).  Beberapa asumsi dan ciri-ciri dari pendekatan ini adalah :

  1. Pelestarian tidak akan berhasil bila tidak dikaitkan dengan peluang ekonomi dan peluang menanam modal untuk orang-orang yang mata pencahariannya mengancam keutuhan suatu kawasan lindung.
  2. Pendekatan harus meluruskan kebijakan tata guna tanah dan prakteknya. Dalam arti, batas kawasan harus diberi tanda yang jelas, dibentuk daerah penyangga, dan hak milik yang jelas dan tegas harus dijamin.
  3. Agar efektif, harus mengajak masyarakat setempat untuk bekerjasama. Setidak-tidaknya masyarakat memahami dan mendukung tujuan pelestarian keanekaragaman hayati dan menyetujui peluang-peluang ekonomi yang ditawarkan kepada mereka.
  4. Menuntut keahlian di atas keahlian yang perlu dimiliki seorang pengelola tradisional kawasan lindung. Ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi, antropologi, hukum.
  5. Pengelolaan kawasan lindung tidak boleh berakhir di garis batas kawasan cadangan atau semata-mata terfokus pada pencegahan orang masuk. Lintas sektor dan lintas ilmu, menuntut mekanisme baru hubungan antar berbagai SKPD di berbagai sektor dapat lebih bekerja sama dan lalu-lintas bahan-bahan masukan dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya dapat berjalan lebih lancar.

11 respons untuk ‘Dialektika Pelestarian Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah

  1. VISI KEMHUT KATANYA HUTAN LESTARI MASYARAKAT SEJAHTERA, KOK NYATANYA SULIT SEKALI KITA LIHAT BUKTINYA YAH, KADANG SAYA PESIMIS KALO LIHAT KONDISI SAAT INI TATARAN ILMU TEKNIS KAYAKNYA SUDAH JAUH BERADA DI BAWAH KAWAN YANG BERILMU POLITIKS OR HUKUM. APA YANG BISA DIPERBUAT ORANG TEKNIS >>>

  2. miris ya… satu sisi penambangan itu adalah sumber penghasilan warga. sangat disayangkannya mereka biasanya meninggalkan begitu saja bekas galiannya tanpa memikirkan akan jadi bagaimana lingkungan setekahnya.

    Jadi teringat bekas penambangan timah di belitong 😦

  3. Yaa selagi hutan itu bermanfaat untuk masyarakatnya boleh2 saja. Yang penting mereka harus bisa menjaga kelestarian hutan itu. 🙂

    Salam hangat dari Jogja bang… 😀

  4. saya lebih cenderung melihat bagaimana alam itu memberikan manfaat buat masyarakat sekitar tanpa adanya perusakan2 yang justru menciptakan kesengsaraan baru dikemudian hari. Kalau ada istilah ‘untuk membangun ekonomi rakyat’ sekitar, sya fikir ini adalah alasan klise dan penuh dengan muatan2 terselubung didalamnya, karena sebelum ada ‘pembaruan2’ (baca: penambangan), mereka sudah bisa hidup dengan memanfaatkan alam sekitar. Masih ada cara yg lebih bijak dan manusiawi untuk lebih mengangkat lagi ekonomi warga sekitarnya….!

  5. sayang sekali, hutan yg cantik rusak karena kegiatan penambangan yang kurang peduli dengan lingkungan. Semoga hutan yang “terjarah” dapat kembali seperti semula.
    Lestarikan hutan kita!!

Tinggalkan Balasan ke Naluritri Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.