Rintisan FPIC REDD+ Sulawesi Tengah (2)

NoerTulisan ini merupakan saduran dari laporan hasil pelaksanaan Rintisan FPIC REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah yang kami sampaikan kepada UN-REDD Programme Indonesia dan unsur terkait, pada Tahun 2012. Rintisan FPIC/PADIATAPA dilaksanakan di Desa Pakuli dan Simoro Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi – dua desa yang wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah melalui Sub Pokja Bidang IV (Bidang FPIC dan Pemberdayaan).

Kemudian, sebagaimana Laporan Rintisan FPIC yang terdiri dari lima bab, maka untuk menjaga agar setiap postingan dalam blog ini tidak terlalu panjang, penyajian tulisan mengenai Rintisan FPIC ini pun akan dilakukan dalam lima kali posting. Tulisan ini merupakan isi bab kedua dari laporan hasil pelaksanaan Rintisan FPIC di atas, untuk bab pertama silahkan sobat lihat Rintisan FPIC REDD+ Sulawesi Tengah (1).

__________________________

PROGRAM DAN LOKASI KEGIATAN

Gambaran Umum Program

Mengingat mekanisme REDD+ baru pada tahap kesiapan (readiness), maka objek persetujuan dari masyarakat dalam proses Rintisan FPIC belum dapat dilakukan terhadap Program REDD+. Sebagai penggantinya, program/kegiatanRehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang akan dilaksanakan oleh Balai BesarTaman Nasional Lore Lindu, menjadi program/kegiatan yang akan dimintakan persetujuannya dari masyarakat.

Sebagai kawasan konservasi, kondisi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) tidak luput dari tekanan dan gangguan yang akibat pembukaan hutan untuk perkebunan, pengambilan kayu, atau tambang yang menurunkan kualitas lingkungan kawasan TNLL. Semua tekanan dan gangguan itu jelas mengancamhabitat satwa dan tumbuhan di TNLL; yang pada gilirannya juga mengancam kehidupan manusia, seperti rusaknya cadangan air, kekeringan di musim

kemarau, serta banjir atau longsor di musim penghujan. Laju kerusakan tersebut cukup tinggi sehingga perlu diupayakan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika systemperlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sitem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degredasi fungsi hutan dan lahan. PelaksanaanRHL dapat diimplemntasikan pada semua kawasan hutan kecuali cagar alam danzona inti taman nasional.

RHL diselenggarakan melalui kegiatan penanaman (penghijauan/reboisasi),pemeliharaan, pengayaan tanaman, dan konservasi tanah. Penanaman(penghijauan/reboisasi) meliput kegiatan pengumpulan benih, persemaian bibit, menanam, dan pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan tanaman diselenggarakan dengan melakukan perawatan serta pengendalian hama dan penyakit agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengayaan tanaman dilakukan lewat pemanfaatan lahan yang tersedia secara optimal denganmemperbanyak jumlah dan keragaman jenis tanaman.

RHL di wilayah Taman Nasional diselenggarakan oleh Balai Taman Nasional,yang dilaksanakan melalui kegiatan reboisasi, pemeliharaan tanaman, pengayaantanaman, dan penerapan teknik konservasi tanah. Agar pelaksanaan kegiatanrehabilitasi sesuai ketentuan, Kepala Balai Taman Nasional wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan rehabilitasi hutan di wilayahnya.

Pola Pelaksanaan RHL dapat melibatkan pihak di luar Balai TNLL, yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI), swasta, atau masyarakat sekitar TNLL. Pelibatan pihak di luar TNLL mempunyai landasan hukum dan pelaksanaannya yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Keadaan Umum Kawasan Hutan

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan salah satu kawasanpelestarian alam yang terletak di lintas Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso,dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, karena berada di daerah walacea, pada titik pertemuan 3 lempeng dunia pada awal pembentukan Pulau Sulawesi.

TNLL ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 464/KptsII/1999 Tanggal 29 Januari 1999, dengan kawasan seluas 271,991.18 Ha. Secarainternasional (UNESCO,1977), TNLL telah ditunjuk sebagai kawasan cagar biosfer dunia, untuk mengembangkan hubungan yang selaras antara kesejahteraan hidup masyarakat dan kelestarian hutan.

Potensi flora yang sudah terdata sebanyak 5000 sepesies flora, dan 287Jenis tumbuhan sebagai bahan baku untuk 415 jenis material obat tradisional. Sedangkan potensi fauna yang dimiliki meliputi 127 mamalia (30% endemic Sulteng); 117 reptile(60% endemik Sulteng); 328 Sepesies burung (27% Endemik Sulteng); 25 amphibia (76% endemik Sulteng); dan 68 ikan (68 % endemik Sulteng).

Lembaga Internasional (BirdLife) menetapkan Kawasan TNLL sebagai Bird Endemic Area, sebagai habitat bagi 267 jenis burung di Sulawesi, 97 diantaranya merupakan spesies endemik. Beberapa spesies endemik, antara lain ElangSulawesi (Spizaetus lanceolatus), Nuri Sulawesi (Tanygnatus sumatrana), Rangkong (Rhyticeros cassidix), Maleo (Macrocephalon maleo) serta lainnya.

Selain sebagai habitat flora dan fauna, TNLL juga berfungsi sebagai salahsatu sistem penyangga kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah. Selama ini TNLLtelah memberi jasa langsung ke masyarakat berupa cadangan air. Hulu hutan di kawasan TNLL memberi kontribusi air bagi hilir (Kota Palu dan sekitarnya), jika dinilai setaraRp 8,9 milyar per tahun; sementara kontribusi bagi provinsi Sulawesi Tengah, baik untuk air baku rumah tangga, pertanian, perkebunan, dan industri dapat mencapai Rp 9 trilyun pertahun.

TNLL juga menyimpan potensi sosial budaya dengan 430 obyek Megalith.348 terletak di Lore Utara, 55 di Lore Selatan, dan 27 di Kulawi, dalam beragam bentuk seperti Patung/Arca; Kalamba; Tutu’na (tutup kalamba) serta Dakon (bentuk-bentuk ukiran pada batu). Potensi lain yang terdapat di sekitar TNLL diantaranya berupa kesenian dan pakaian tradisional dari 4 etnis utama (etnis kaili, pekurehua, behoa dan bada). Terdapat kelompok-kelompok musik bambu, tarian dero/moraego yang diselenggarakan pada perayaan panen serta pembuatan kain dari kulit kayu (fuya).

Keadaan Umum Desa Pakuli dan Desa Simoro

Desa Pakuli dan Desa Simoro merupakan dua desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Tanam Nasional Lore Lindu. Letak kedua desa ini saling berdekatan, dimana secara administrasi berada di Wilayah Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi. Akses dari Kota Palu menuju kedua desa ini dihubungkan olehjalan aspal yang cukup baik, dengan jarak ± 40 km ke arah selatan, dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan selama ± 1 jam.

Secara geografi, Desa Pakuli dan Desa Simoro berada pada ketinggian 131-148 meter di atas permukaan laut. Dengan kondisi lima puluh persen lebih bertopografi perbukitan dan pegunungan.

Bila dilihat dari kepadatan penduduknya, Desa Pakuli memiliki tingkat penduduk yang lebih tinggi dibanding Desa Simoro. Desa Pakuli memiliki kepadatan penduduk 132 jiwa/km2, pada luas wilayah 30,85 km2, dan jumlah penduduk sebanyak 3.786 jiwa. Sedangkan Desa Simoro memiliki kepadatan penduduk 85 jiwa/km2, pada luas wilayah 14,27 km2, dan jumlah penduduk sebanyak 832 jiwa.

Penduduk desa yang berdiam di Pakuli dan Simoro adalah Etnis Kaili yang merupakan penduduk asli. Selain itu, terdapat juga penduduk pendatang yang diantaranya berasal dari Etnis Kulawi, Etnis Lore, dan Etnis Bugis. Dengan bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Indonesia, namun dalam komunitasnya masyarakat menggunakan bahasa daerah.

Dalam aspek pengambilan keputusan, terdapat dua pendekatan yang biasanya digunakan, yaitu (1) melalui pengambilan keputusan yang dilakukan langsung oleh kepala desa sendiri, pada keputusan yang mendesak untuk segera diputus; dan (2) melalui musyawarah yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat. Untuk hal-hal yang strategis, mekanisme musyawarah dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat dusun, hingga tingkat desa. Peserta pertemuan merupakan perwakilan masyarakat ditambah unsur perangkat desa.

Pekerjaan utama penduduk desa mayoritas sebagai petani yang bertanam padi dan berkebun kakao. Dengan dominan pekerjaan penduduk sebagai petani/perkebunan ini menyebabkan ketergantungan sebagian besar masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan tergolong tinggi. Oleh karena itu, pada sebagian lokasi terjadi tumpang tindih penguasaan kawasan antara masyarakat dengan pemangku kawasan hutan (BTNLL). Umumnya, masyarakat yang memiliki kebun di dalam kawasan hutan, menanamnya dengan jenis komoditi kakao dan kelapa.

4 respons untuk ‘Rintisan FPIC REDD+ Sulawesi Tengah (2)

  1. Wah siplah, semoga sukses programnya mas. Sukses untuk diri sendiri dan khalayak umum tanpa ada yang dirugikan. Semoga Tuhan mmeberkati.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.